Sign up with your email address to be the first to know about new products, VIP offers, blog features & more.

[mc4wp_form id="5"]

Tempe Industri Rumahan Yang Menjanjikan

By Posted on 0 3 m read 12.9K views

Tempe merupakan makanan rakyat asli Indonesia, sudah lama menjadi makanan konsumsi yang banyak digemari. Disamping murah, rasanya yang gurih, tempe juga dianggap memiliki nilai nutrisi tinggi, karena adanya proses fermentasi dalam pembuatannya.

Karena banyak disuka, maka tempe memiliki nilai ekonomi cukup menjanjikan bagi pembuatnya. Tidak heran apabila kemudian tidak sedikit masyarakat yang menekuni home industri pembuatan tempe, sebagai pegangan hidupnya.

Adalah Rustanto (52) seorang karyawan sebuah perusahaan nasional, memilih usaha tempe dari pada bekerja di perusahaan yang sudah bertahun-tahun dilakoninya.

Ketertarikan Rustanto diawali dengan penilaianya terhadap potensi ekonomi tempe, yang dianggap memiliki prospek baik bagi perekonomian keluarganya. Rustanto pada medio 1996, kemudian berupaya mendapatkan ilmu tata cara pembuatan tempe. Gayung bersambut, salah satu temannya ada yang memiliki usaha pembuatan tempe. Belajar dari temannya inilah kemudian Rustanto mencoba mempraktekan ilmuanya di rumah. Semula, tempe yang dibuatnya belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan bahkan mengalami kegagalan.

Bapak tiga anak ini, rupanya tidak mau menyerah, dia kembali melakukan uji coba, sembari mencari penyebab kegagalan dalam pembuatannya. Menurutnya, kegagalan diakibatkan oleh peragian yang masih kurang tepat takaran dan tempat peragian yang dilakukan pada tempayan plastik. Peragian yang menggunakan tempayan plastik, menurutnya, berakibat pada bahan kimianya larut, bersamaan dengan ragi.

Dari kesimpulannya, Rustanto kemudian mencoba dengan melakukan peragian dengan menggunakan tempayan non plastik. Tempayan yang dipilih adalah tempayan yang terbuat dari anyaman bambu (tampah). Rupanya percobaan dengan menggunakan tempayan bambu ini, kemudian berbuah manis. Tempe yang dibuatnya bisa menjadi tempe yang sempurna dan siap untuk dikonsumsi. Dari sinilah kemudian Rustanto memulai usaha home industri pembuatan tempe.

Tidak disangka sebelumnya oleh Rustanto, bahwa tempe buatannya ternyata mendapat sambutan baik dari tetangga sekitar. Merasa tempe buatannya mendapat sambutan baik, Rustanto beranggapan tempe bisa dijadikan sebagai sumber penghasilan keluarga.

Awal produksi dimulai dengan pembuatan tempe berbahan dasar kedelai sebanyak 10 kg. Pada hari berikutnya jumlah produksi terus mengalami peningkatan. Tampilan dan kemasan yang menarik, serta rasanya yang gurih, berbuntut pada permintaan warga sekitar juga mengalami peningkatan. Selanjutnya pemasaran diperluas, dengan menjual tempe ke pasar. Yaitu pasar Mangkang dan pasar pagi Kaliwungu.

Berbarengan dengan lancarnya penjualan tempe produksinya, Rustanto kemudian menyatakan keluar dari perusahaan tempat ia bekerja. Mulai saat itulah (tahun 1997), Rustanto kemudian fokus pada usaha pembuatan tempe. Dan sampai kini tempe buatannya sudah menembus pasaran Mangkang, Kaliwungu, Cepiring. Tidak sedikit pula tengkulak yang mengambil produk tempe darinya. Mereka biasanya membeli langsung ke tempat produksinya. Pada tahun 2000-an, Rustanto mampu memproduksi sampai 100 kg kedelai dalam sehari.

Seiring dengan perjalanan waktu, persaingan yang makin ketat, kini produksi tempe Rustanto dalam satu harinya bertahan pada angka 75 – 80 kg bahan baku kedelai.

Proses Produksi

Dikatakan Rustanto yang didampingi istrinya Tri Yuliarti, proses produksi tempe buatannya dilakukan di rumah produksi yang beralamat di Desa Karangsuno RT 01 RW 02 Kecamatan Cepiring. Tempe buatannya bervariasi ada yang berukuran kecil, sedang dan ukuran cukup besar. ” Tempe ukuran kecil kami banrol dengan harga 1000 sampai 2500 rupiah, kemudian yang lebih besar lagi ada harga 3000 rupiah, 4000 dan 5000 rupiah”, jelas Rustanto.

Diterangkan oleh Rustanto, dirinya melakukan perebusan kedelai dengan menggunakan kayu bakar yang sudah disuplai oleh langganannya. Mengapa tidak menggunakan kompor gas? Menurut bapak tiga anak ini, dengan menggunakan kayu bakar, maka bisa menghemat anggaran sekitar 35 persen dibanding dengan menggunakan kompor gas. “Kami pernah mencoba menggunakan kompor gas, tetapi ternyata biayanya lebih besar dibanding dengan menggunakan kayu bakar”, tutur Rustanto.

Kedelai yang sudah direbus, kemudian ditampung ke ember-ember plastik yang sudah disiapkan dan dibiarkan selama dua hari. Untuk produksi tempe buatannya, Rustanto memiliki 3 orang pekerja. Selanjutnya kedelai tersebut dicuci bersih sampai mengelupas kulit arinya. Kedelai yang sudah terkelupas kulit arinya ini harus sudah benar-benar dinyatakan bersih. Setelah itu, kedelai ditiriskan selama setengah sampai satu jam.

“Setelah kedelai yang ditiriskan tersebut sudah dinyatakan tuntas, baru kemudian kedelai ditempatkan di tampah lebar terbuat dari anyaman bambu. Bersamaan dengan itu, selanjutnya diberi ragi dengan ukuran yang tepat. Kalau pas musim penghujan, ragi yang dicampurkan ke kedelai, bisa berkali-kali lipat. Campuran kedelai dengan ragi harus benar-benar merata. Kalau sudah merata benar baru kemudian di masukkan ke plastik-plastik pembungkus yang sudah dilubangi dan besarnya sesuai ukuran. Bakal tempe yang sudah dimasukkan ke kantong-kantong plastik ini, kemudian ditempatkan di para-para dan dibiarkan selama dua hari. Hingga akhirnya jadilah tempe yang siap dikonsumsi dan dipasarkan”, jelas Rustanto didampingi istrinya Tri Yuliarti.

Bagikan Artikel ini...