Sign up with your email address to be the first to know about new products, VIP offers, blog features & more.

[mc4wp_form id="5"]

Ki Ageng Surodadi & Legenda Desa Cacaban

By Posted on 0 4 m read 4.5K views

Kebesaran nama Ki Ageng Surodadi khususnya di wilayah Boja dan Singorojo tentu tak diragukan lagi. Beberapa waktu lalu dilakukan Pengajian Umum dan Khaul Ki Ageng Surodadi di Desa Cacaban Kecamatan Singorojo sekaligus peresmian Desa Cacaban sebagai Desa Wisata oleh Bupati Kendal yang diwakili Sekretaris Daerah Ir Bambang Dwiyono MT pada Senin, 2 Oktober 2017.

Peresmian Desa Wisata Cacaban diwarnai dengan berbagai kegiatan yang dimulai dengan karnaval budaya dari Lapangan Desa Ngareanak menuju Lapangan Desa Cacaban. Karnaval dimeriahkan dengan kereta kencana dari Keraton Yogyakarta yang ditumpangi oleh Sekda Bambang Dwiyono, Kepala Desa Cacaban Adi Sutopo, dan Administrator Perhutani Kendal Ir Tri Setya Pratama.

Peresmian ditandai dengan pemotongan pita dan pemukulan gong oleh Sekda Bambang Dwiyono dan dilanjutkan dengan penandatanganan prasasti oleh Sekda Bambang Dwiyono mewakili Bupati Kendal bersama Administrator Perhutani Kendal Ir Tri Setya Pratama, Kepala Dinas Kepemudaan, Olah Raga, dan Pariwisata yang diwakili Kepala Bidang Pariwisata Mardi Edi Susilo SE Par M Par, dan Perwakilan Kraton Yogyakarta Prof Dr KH Muhammad Ali Ridho.
Usai penandatanganan prasasti, acara dilanjutkan dengan penyerahan kesepakatan bersama (MoU) oleh Administarotor Perhutani Kendal kepada Kepala Desa Cacaban, Adi Sutopo.

Bupati Kendal melalui Sekda Bambang Dwiyono menyampaikan apresiasi kepada seluruh warga masyarakat Cacaban yang memiliki inisiatif menggali potensi desanya dengan membentuk desa wisata. Bupati berharap dengan adanya desa wisata tersebut akan semakin menambah kesejahteraan dan kemakmuran desa Cacaban dan sekitarnya.

“Desa Cacaban memiliki potensi wisata alam dan religi seperti Sendang Biyung Sami, Sendang Sekenyes, Curug Lie Seng, Batu Pasholatan, Makam Ki Ageng Surodadi, dan lain-lain. Kami menyampaikan terimakasih atas dukungan Pemkab Kendal dan semua pihak. Kami berharap dengan diresmikannya desa wisata ini akan semakin memperkuat masyarakat dalam menjaga adat dan agama sebagaimana yang diajarkan oleh Kyai Ageng Surodadi di desa ini,” kata Kepala Desa Cacaban Adi Sutopo.

 

Ki Ageng Surodadi

Menurut Adi Sutopo, Ki Ageng Surodadi masih keturunan Keraton Yogyakarta. Beliau seorang tokoh pejuang yang pemberani dan kuat beragama. Kuat memegang teguh prinsip dan amanah serta konsisten melaksanakan hasil musyawarah. Karena itulah ada yang menyebutnya “Sedadi” yang berasal dari kata “siset” (kencang, kuat) dan “dadi” (jadi). Dari ucapan itu akhirnya menjadi Dusun Sedadi. Namun dalam perkembangannya Dusun Sedadi berkembang menjadi Dusun Surodadi hingga sekarang.

Pada masa dahulu sebagian Desa Cacaban adalah lautan yang ditandai dengan ditemukannya sebuah jangkar kapal besar yang ditemukan di bawah tebing di sebelah selatan Kampung Caban atau di Lembah Wali. Selain itu juga ditandai dengan adanya fosil binatang laut dan karang laut.

Ki Ageng Surodadi wafat di tempat dimana beliau terakhir bermukim. Sedangkan desa asli Cacaban sebenarnya terletak 3 kilometer barat laut Dusun Surodadi yang dulu dikenal dengan Dusun Sabsaban dan saat ini hanya dihuni oleh 9 keluarga saja.

Pada masa Ki Ageng Surodadi hidup beliau sering menggunakan sebuah batu besar untuk sholat, berdzikir, ataupun bermusyawarah baik urusan agama maupun menyusun strategi melawan Belanda. Batu tersebut hingga kini masih ada dan disebut Batu Pasholatan.

Tak begitu jauh dari Batu Pasholatan ada sebuah sendang yang menjadi tempat pembuatan senjata dan pusaka seperti keris, tombak, dan panah untuk memperkuat persenjataan pasukan Ki Ageng Surodadi. Pembuat senjata dan pusakanya adalah Ki Suro Dumi yang terkenal hingga Kendal dan sekitarnya.
Setiap bulan syuro para pasukan menjamas atau mencuci senjata dan pusakanya di sendang tersebut. Ketika senjata atau pusaka dimasukkan ke sendang tersebut berbunyi “nyes”, karena itulah sendang ini kemudian dengan nama Sendang Sekenyes.

Di sebelah barat daya makam Ki Ageng Surodadi terdapat 2 curug dengan ketinggian 30 meter dan 10 meter. Curug ini dikenal angker karena dihuni jin yang bernama “Buto Ganung” yang bisa menjelma menjadi ular atau seorang perempuan.

Ki Ageng Surodadi menggunakan curug ini sebagai tempat bertapa dan penggembelengan kesaktian para pendekar dan santrinya untuk membantu Ki Bahurekso dalam melawan Belanda. Setelah para pendekar dan santrinya selesai bertapa lalu dimandikan di bawah air terjun dengan maksud mensucikan diri dari jiwa yang kotor agar menjadi bersih dan kuat, bebas dari gangguan energi negatif.

Ketika mau masuk ke curug, Ki Ageng Surodadi dilawan sama Buto Ganung selama 40 hari 40 malam. Namun Buto Ganung berhasil dikalahkan dan berjanji tidak akan mengganggu selamanya, sehingga saat KI Ageng Surodadi mengadakan penggemblengan santri-santrinya, Buto Ganung ikut membantunya secara gaib.

Setiap Ki Ageng Surodadi melakukan pengemblengan di curug itu selalu saja ada yang memata-matai atau bahasa Jawanya nginceng. Karena itulah curug itu dikenal dengan nama Curug Nginceng.

Versi lain mengatakan, saat Belanda bermukim di wilayah Gondoroso, ada seorang Belanda bernama Vandual dan gadis Tionghoa bernama Lie yang sering mandi di curug tersebut. Sebelum mandi mereka membakar dupa yang baunya semerbak wangi yang dalam bahasa Jawa disebut mak seng karena baunya menyengat hidung. Dari kata seng inilah kemudian curug tersebut dikenal dengan sebutan Curug Lie Seng.

Masih banyak lagi situs legenda di Desa Cacaban seperti Sendang Biyung Sami, makam para sesepuh, Watu Ombo, Watu Lumbung, Watu Gajah, Wahana Burung Merak, dan lain-lain. Semua itu merupakan khazanah kekayaan budaya Kabupaten Kendal yang harus terus dipelihara dan dilestarikan.

No tags

Bagikan Artikel ini...